Selasa, 01 Juni 2010

Serangan Teroris di Flottilla to Gaza

Senin, 31 Mei 2010, Pasukan khusus israel (diduga dari unit Pasukan khusus AL S-13), melakukan serangan terhadap konvoi kapal pembawa bantuan untuk warga Gaza, Palestina. Penyerangan ini dilakukan diatas perairan Internasional sebagaiana tergambar pada peta (diatas). Akibat penyerangan ini diduga 19 orang tewas, dan puluhan luka-luka. Jumlah korban sampai saat tulisan ini dibuat belum bisa dipastikan, karena masih simpang-siurnya berita, dan Israel memblokade semua sinyal komunikasi dari dan menuju kapal Mavi Marmara yang membawa Relawan dan Bantuan untuk Gaza. Didalam Kapal mavi Marmara terdapat ratusan Relawan yang berasal dari 50 negara, salah satunya 12 orang relawan asal Indonesia. 12 WNI yang berada di kapal Mavi Marmara terdiri dari wakil tiga lembaga swadaya masyarakat KISPA, MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), dan Sahabat Al-Aqsa. Dari 12 orang itu, juga ada lima wartawan, yaitu Aljazeera Indonesia, TV One, Hidayatullah.com, Majalah Alia, dan Sahabat Al Aqsha.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas akibat dan konsekuensi dari teror yang dilakukan Israel terhadap Kapal Mavi Marmara, tapi saya akan memberi sedikit pencerahan tentang unit pasukan khusus Angkatan Laut Israel yang diduga melakukan teror itu, yang saya rangkum dari beberapa sumber
Angkatan Bersenjata Israel (Israel Deffence Force) atau yang biasa disebut IDF, memiliki pasukan khusus Angkatan Laut yang bernama Shayetet-13 (S-13). S-13 merupakan salah satu unit khusus yang dimiliki IDF. Selain S-13 Israel juga memiliki pasukan khusus lainnya antara lain Brigade Golani dan Satyeret matkal. Brigade Golani yg berposisi di Golan maupun Perbatasan Lebanon punya Sayerat Egoz - kesatuan komando berkualifikasi zeni yg biasanya dikirim sebagai unit pendahulu utk melakukan recon, scot, demolishion guna membuka jalan bagi pasukan lapis baja.
Sementara Givati Brigade yg berposisi di Selatan di perbatasan Sinai punya Sayeret Shaked yg sejak era 60-an bertugas sebagai unit, penyusup dan juga anti penyusupan dan ahli dalam melakukan perang anti gerilya di wilayah gurun.
Khusus di daerah seperti Gaza dan Tepi barat, ada unit Sayeret Duvdevan yg kontroversial.
Duvdevan kontroversial karena mereka adalah 'hit squad' yg bertugas menyusup ke wilayah kota2 Palestina utk melakukan pembunuhan terhadap tokoh2 teroris Palestina.
Duvdevan jadi kontroversial karena sasaran mereka tidak hanya operator Hamas atau unit2 paramiliter Palestina, tapi juga sasaran sipil seperti ulama, dosen, guru, pemuka masyarakat yg dianggap menyebarkan paham2 terorisme atau menganjurkan serangan teror terhadap warga Israel.
Sayeret Duvdevan harus fasih berbahasa Arab dan dalam misi mereka biasanya mengenakan pakaian sipil - metode ini amat kontroversial dan bahkan di Knesset / parlemen Israel sendiri banyak ditentang.

S-13 dibentuk oleh Yohan Ben Nun dari milisi AL, Haganah, sebuah kelompok pembebasan ketika Inggris berada di Palestina pada tahun 1949.
Keberadaan satuan unit ini baru diketahui publik, ketika personilnya menerima wing insignia terlebih dahulu ketimbang personil AL Israel lainnya pada tahun 1960.
Pengalaman pertempuran pertama Unit ini adalah pada tahun 1967, ketika perang 6 hari terjadi, Perang yang melibatkan gabungan negara Arab (Irak, Mesir, Jordania, Arab Saudi, Syria) dan Israel . Salah satu misi yang patut di catat, adalah ketika 6 operator S-13 terbongkar penyamarannya pada 6 Mei 1967 dan baru dilepaskan enam bulan kemudian pada Januari 1968. Sehingga S-13 dianggap gagal dalam menjalankan misinya. Setahun kemudian, unit khusus tertua Israel ini kembali mengalami kegagalan, 3 operator S-13 tewas dan 10 lainnya terluka parah selama penyerangan ke greend land. Setelah kejadian tersebut unit ini kemudian mengalami perombakan, dengan fokus pada penyerangan melalui laut ke darat dan perbaikan pelatihan pada periode 1970-an.
Perubahan itu berdampak besar pada unit khusus AL Israel ini. S-13 sering melakukan latihan bersama dengan unit khusus milik Israel lainnya.
Ketika restrukturisasi selesai, organisasi S-13 menjadi lebih besar, pelatihan yang lebih baik dan kesiapan untuk bertempur lebih baik dari sebelumnya. Akibat dari perombakan besar-besaran ini S-13 dipercaya IDF untuk ikut terlibat dalam banyak operasi militer pemerintah Israel, utamanya untuk mencari dan menghancurkan kelompok islam radikal yang dianggap teroris oleh negara zionis ini, salah satunya adalah penyerangan terhadap Libanon.
Pada tahun 1979 S-13 melakukan perombakan besar-besaran, dibawah pimpinan Ami Ayalon terjadi perubahan struktur organisasi dan sistem pelatihan. Sistem pelatihan S-13 menghabiskan waktu selama 20 bulan dan diklaim sebagai pelatihan paling berat di IDF, terutama pada aspek laut. Unit ini juga mengirimkan personilnya untuk berlatih dengan unit komando AL negara lain, salah satunya Navy Seals AS.
Pelatihan S-13 terbagi menjadi beberapa fase:
1. Fase pelatihan Infanteri dasar dengan brigade infanteri IDF selama 6 bulan;
2. Fase pelatihan terjun payung di sekolah terjun payung IDF selama 3 minggu;
3. Fase persiapan, merupakan pelatihan infanteri menengah, pelatihan senjata, elemen dasar peperangan maritim, operasi dengan menggunakan kapal kecil, renang jarak jauh, pelatihan fisik dan latihan peledakan selama 3 bulan;
4. Fase penyerangan dalam air, pelatihan ini dilakukan selama empat minggu. Peserta pelatihan akan menerima latihan elemen dasar dari teknik dasar penyerangan bawah air, seperti bertahan dari dinginnya air, menyelam dalam kegelapan dan air keruh, serta bertahan hidup di dalam air termasuk menghadapi tekanan air dan kedalaman penyelaman;
5. Fase pelayanan, pada pelatihan terakhir ini peserta didik akan mempelajari teknik penyelaman tingkat lanjut menggunakan sistem penyelaman di dalamnya meliputi peledakan dalam air dan senjata dalam air, juga penyusupan dari air ke darat melalui penyelaman, baik kapal, kapal selam dan terjun payung ke laut. Di fase ini para peserta didik juga akan menerima pelatihan mengenai teror disekolah Perang Kontra Teror milik IDF.
Calon operator S-13 juga akan menerima pelatihan anti teror di kapal, anjungan minyak dan bangunan yang berada di pinggir pantai. Selama fase ini, calon personil S-13 dibagi menjadi 3 kelompok spesialis ,berdasarkan kemampuan dan bakat masing2 serta pelatihan untuk kemampuan spesialis mereka di masa dimasa depan.
Namun berdasarkan kabar yang diterima, Operator S-13 rentan terkena penyakit kanker. Hal ini disebabkan karena perairan Israel dimana mereka dilatih dan dididik telah terkontaminasi zat beracun dan berbahaya.
Dalam serangan ke kapal Mavi Marmara, unit ini dinilai gagal dalam tugasnya. Bagaimana kegagalan ini terjadi? Ynetnews, harian Israel, menyebutkan kegagalan sudah terjadi ketika pasukan diterjunkan dari helikopter. Teori dasar yang diajarkan pada pasukan khusus itu adalah, jangan pernah bergerak sendirian, usahakan selalu bersama anggota pasukan lain.

Teori itu tak berlaku di geladak Marmara. Mengira tak akan mendapat perlawanan sengit, pasukan komando turun satu demi satu dari helikopter, menggunakan tali. Di bawah, tentu saja mereka tidak disambut kalungan bunga. Yang mereka terima adalah serbuan puluhan aktivis yang menggebuk dengan berbagai senjata seadanya, dari kayu, besi, hingga kunci Inggris.

Dengan susah payah semua anggota pasukan komando ini akhirnya berhasil mendarat. Tapi kondisi mereka sudah babak-belur. Dua di antaranya bahkan pingsan, dan senjatanya dirampas.

Merasa terdesak, komandan pasukan memerintahkan menembak dengan peluru karet dan melemparkan granat pengejut. Ini pun tak membuat ratusan aktivis di geladak gentar. Mereka makin bersemangat melawan. Saat pasukan makin terpojok inilah, perintah maut itu dikeluarkan: gunakan peluru tajam. Rentetan tembakan segera melumpuhkan belasan aktivis dan menewaskan sekurangnya 10 orang.

Lembaga analisis intelijen Debka, yang berbasis di Yerusalem, menyebutkan bahwa pasukan komando itu memang kagok. Mereka bukan pasukan antihuru-hara. Mereka adalah pasukan pembunuh. Ketika menghadapi perlawanan para aktivis, mereka bingung karena diminta tidak mengambil alih kapal dengan menimbulkan korban jiwa. “Bahkan polisi perbatasan Israel yang biasa menangani orang-orang Palestina lebih terlatih dari pasukan khusus itu.”

Pertanyaan yang juga muncul adalah: mengapa pasukan komando itu tidak melakukan operasi diam-diam saja, misalnya menyabotase mesin kapal sehingga bisa diambil alih? Ternyata opsi ini sempat dipikirkan saat operasi dirancang, tapi tak dipakai karena kapal Mavi Marmara terlalu besar. Jika mesin kapal disabot, sulit buat pasukan Israel untuk menyeret kapal besar itu ke wilayah mereka. Maka, jadilah opsi penerjunan yang kemudian membawa bencana itu yang dipilih.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutkan, pasukan komando dalam posisi membela diri karena diserang. Untuk memperkuat argumen ini, Departemen Pertahanan Israel kemudian merilis rekaman video penyerbuan. Argumen yang aneh, karena video itu jelas-jelas menunjukkan pasukan Israel menyerbu kapal. Mana ada pasukan menyerbu lalu tiba-tiba mengaku membela diri.